Teladan “Pertempuran Surabaya”

Bung Tomo sedang bersiap melakukan siaran radio perjuangan.

Sejak kecil, saya sangat terinspirasi oleh “Pertempuran Surabaya”. Sehingga, saya memutuskan membuat tayangan di kanal Youtube saya berupa pemaparan “Fakta dan Data Pertempuran Surabaya yang Jarang Diketahui”. Insya Allah akan saya unggah hari Minggu (13/11) mendatang di https://s.id/YoutubeBhayuMH.

Dalam khazanah sejarah Indonesia, masa 1945-1949 seringkali disebut “revolusi fisik”. Hal itu karena untuk mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, dilakukan secara fisik dengan beragam cara. Mulai dari merebut gudang senjata, melucuti tentara Jepang, hingga pertempuran terbuka. “Pertempuran Surabaya” atau “the Battle of Surabaya” itu adalah salah satunya.

Ada sejumlah “kejutan” di “Pertempuran Surabaya” ini. Salah satunya adalah kekalahan Inggris sebagai bagian dari Sekutu. Padahal, mereka datang dengan jumawa sebagai negara yang ikut sebagai pemenang Perang Dunia II. Meski secara statistik korban nyawa di pihak Inggris lebih sedikit daripada Indonesia, namun secara nyata mereka kalah. Karena kerugian nyawa prajurit terlatih bersenjata lengkap tentu harganya lebih mahal daripada rakyat biasa bersenjata seadanya.

Efek kekalahan Inggris di Surabaya pada 10 November 1945 itu adalah penarikan total tentara Inggris dari Indonesia. Bukan itu saja, Inggris pun akhirnya berbalik memihak Indonesia di PBB. Ini membuat Belanda kelimpungan, dan akhirnya terpaksa “menyerahkan kedaulatan” kepada Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949.

Selain “Pertempuran Surabaya”-nya sendiri, saya juga terinspirasi oleh Bung Tomo. Kita tahu, pidatonya yang menggelegar yang disiarkan melalui radio telah membakar semangat juang rakyat dan pemuda di Surabaya dan sekitarnya. Para pejuang saat itu tidak hanya terdiri dari tentara, karena justru organisasi tentara belum rapi. Saat itu organisasi ketentaraan di tingkat nasional adalah Tentara Keamanan Rakyat. Sementara, rakyat justru banyak yang mengorganisir diri dalam laskar bersenjata yang dalam istilah lain juga disebut milisi. Pidato Bung Tomo yang didengar luas itu membuat mereka yang mendengarnya kehilangan rasa takut mati dan nekat terjun berperang meski hanya bersenjatakan bambu runcing.

Dan tentu saja, sebagai manusia berdarah “arek Suroboyo”, saya juga memiliki keberanian dan kenekatan yang sama. Teladan pejuang “Pertempuran Surabaya” yang pantang menyerah, harus mampu kita terapkan juga dalam perjuangan kehidupan.

Foto: IPPHOS/Arsip Nasional RI

Tinggalkan komentar