Bahagia di Situasi Sulit

disaster1

Saya yakin, sebagian besar pembaca blog ini belum pernah pergi ke medan perang. Sebagian besar juga belum pernah menghadapi kondisi bahaya yang mengancam nyawa. Beruntunglah Anda yang begitu.

Kebetulan Tuhan mengizinkan hidup saya penuh “petualangan”. Saya seringkali geleng-geleng kepala mengingat segala yang pernah saya alami. Memang, saya bukan Munir yang hebat itu. Saya bahkan tak sebanding dengan supir bajaj yang hidupnya penuh perjuangan. Saya ini apkir yang kapiran. Apaan sih?

Fokus… fokus… fokus…

Intinya, kita bisa membayangkan situasi tersulit yang bisa dihadapi manusia. Cara termudah adalah membaca buku dan menyaksikan film. Ada beberapa film yang menarik untuk disaksikan. Seperti Schindler List (1993) atau The Pianist (2002). Bisa juga yang psiko-drama seperti seri Hannibal yang dimulai dari Silence of The Lambs (1991). Untuk buku, comot sembarang buku sejarah. Pasti akan ada kekelaman di sana, terutama di masa perang.

Mengkaitkan tulisan kemarin, sebenarnya saya ingin menantang para “guru kebahagiaan” itu untuk menangani situasi-situasi sulit secara real-time, bukan post situation. Jadi, beradalah di saat orang sedang dalam masalah, bukan setelahnya. Kalau ada tawuran antar-kampung, cobalah damaikan saat sedang terjadi tawuran. Pengecualian hanya untuk bencana alam. Saya tidak cupluk, mustahil sengaja berada di tengah bencana. Selain bahaya bagi diri sendiri, juga ada faktor ketakterdugaan waktu dan tempat.

Para guru kebahagiaan itu memang ada yang berkiprah langsung di lokasi untuk trauma healing. Tapi terus-terang saya seringkali mendapati kenyataan bahwa mereka seperti orang yang meneriakkan “maju!” untuk berperang tapi dari balik tembok. Mengajarkan kebahagiaan dari ruang ber-AC dengan kursi empuk tentu berbeda dengan di tanah lapang berlumpur tanpa atap. Tentu beda mengajarkan arti kebahagiaan tanpa sorot kamera kepada orang-orang yang secara kasat mata sedang menderita.

Juga jelas sulit mengajarkan arti kebahagiaan pada orang yang secara fisik masih berkekurangan. Arti syukur yang diajarkan secara teoretis juga mudah, tapi sulit dilaksanakan. Apalagi mengajarkan bahagia pada orang yang sedang marah.

Hush shah…

Saya teringat film Anger Management (2003) yang lucu. Meski bergenre drama-komedi, ada beberapa hal yang bisa saya petik dari film itu. Misalnya kalimat pendek “hush shah” adalah kalimat yang dipakai sebagai penenang oleh psikiater di film itu. Dan ada beberapa metode lucu yang bisa dipakai sebagai penghibur di kala kita menghadapi situasi sulit. Di film itu, orang yang sedang marah dipandu untuk mengetaui sumber amarahnya. Nah, demikian pula bila kita menghadapi situasi sulit, penyebabnya harus diketahui dulu. Kalau tidak, bagaimana bisa diatasi?

Justru, tantangan terbesar kebahagiaan adalah bagaimana kita bisa mengendalikan diri di situasi tersulit. Tetap tenang, mengambil tindakan paling rasional dan memungkinkan, serta menyelesaikan permasalahan satu demi satu dimulai dari yang paling mudah dan menguntungkan. Bahagia bagi saya bukan berarti selalu senyum atau tertawa, tapi kondisi pengendalian diri paripurna. Sehingga, kita bisa tetap merasa bahagia di situasi sesulit apa pun.

Foto ilustrasi: jeffalderdice.wordpress.com

Tinggalkan komentar