Matinya Siaran Televisi Analog

Tanggal 2 November 2022 kemarin pemerintah menetapkan berakhirnya siaran televisi analog di Indonesia. Dalam istilah pemerintah, disingkat ASO, kepanjangan dari Analog Switch-Off.

Tentu saja, menurut situs resmi pemerintah, saya kutip: “Siaran televisi digital menggunakan modulasi sinyal digital dan sistem kompresi akan menghadirkan kualitas gambar yang lebih bersih, suara yang lebih jernih dan canggih teknologinya bagi masyarakat Indonesia.” Menurut situs tersebut, siaran televisi digital ini menggantikan siaran televisi analog yang telah mengudara sekitar 60 tahun di negeri kita.

Tentu saja, dalam menelurkan kebijakan pemerintah tersebut, telah dikaji berbagai hal. Apabila akhirnya sampai pada kesimpulan harus ada penetapan kebijakan, tentu perhitungannya keuntungannya lebih banyak daripada kerugiannya.

Namun, tak urung seorang Harry Tanoesoedibjo pun mengeluarkan pernyataan keberatan melalu account Facebook Fanpage dan Instagram-nya. Seperti kita ketahui, ia adalah konglomerat Indonesia pemilik jaringan media MNC Group. Ia pada dasarnya menyatakan keberatan bila ASO hanya diberlakukan secara lokal di Jabodetabek, padahal seharusnya secara nasional. Selain itu ia juga mempermasalahkan landasan hukum ASO yaitu UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020). Karena menurutnya, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2022, telah menyatakan agar pemerintah menangguhkan segala tindakan/ kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Pemerintah juga tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sementara Menko Polhukam Mahfud M.D. pun lantas memberikan tanggapan atas keberatan Harry Tanoesoedibjo tersebut. Menurutnya, ASO adalah amanat dari International Telecommunication Union (ITU) sejak 2006. Dan konon, di Asia Tenggara hanya Indonesia dan Timor Leste yang belum melaksanakannya. Sedangkan menurut Mahfud M.D., putusan M.K. dibuat setelah aturan ASO diterbitkan. Sedangkan kaidah hukumnya, aturan hukum tak bisa berlaku surut.

Terlepas dari silang-pendapat antara Harry Tanoesoedibjo dan Mahfud M.D., saya pribadi agak keberatan dengan kebijakan ini. Karena bisa jadi kebijakan ini dibuat oleh negara maju di Eropa dan Amerika yang tidak mempertimbangkan kondisi di negara lain. Kondisi bentang alam Indonesia yang berpola kepulauan dengan Eropa dan Amerika yang mayoritas kontinental tentu berbeda. Demikian pula teknologinya.

Faktanya, saya yang tinggal di Jabodetabek justru makin sulit menangkap siaran televisi. Kami punya STB (Set Top Box) maupun televisi yang sudah digital dari pabriknya. Tapi, tetap saja siaran yang ditangkap sulit, apalagi kalau sedang hujan. Sedangkan, dengan pola analog atau juga disebut terrestrial, hujan pun tetap bisa tertangkap siarannya. Walau tentu harus waspada karena petir bisa menyambar dan merusak pesawat televisi. Sekarang, di hari cerah terang benderang saja siaran yang tertangkap tidak semua stasiun televisi utama. Lucunya, banyak stasiun televisi kecil yang justru dulu tak dikenal malah tertangkap. Termasuk siaran televisi komunitas seperti milik perguruan tinggi.

Nah, dari siaran digital ini, jelas yang diuntungkan adalah:

  1. Pemilik Stasiun Televisi Baru dan Kecil. Karena dengan siaran digital, perangkat yang dimiliki jelas lebih kecil daripada stasiun televisi analog. Ibaratnya, modal kecil dan sumber daya kecil, sudah bisa bersaing dengan para seniornya.
  2. Pabrik dan Penjual Televisi Digital. Bagi yang memiliki uang, mengganti televisi dengan perangkat terbaru tentunya pilihan mudah. Dan mudah juga mendatangkan uang bagi pabrik dan penjual televisinya.
  3. Pabrik dan Penjual STB. Set Top Box dibutuhkan sebagai alat untuk migrasi dari televisi yang belum digital agar bisa menangkap siaran digital. Di Indonesia, jenis yang digunakan adalah DVD T2.
  4. Pemilik dan Operator Siaran TV Kabel. Karena siaran televisi digital sulit ditangkap, bisa jadi membuat masyarakat beralih ke langganan TV kabel. Apalagi sebentar lagi Piala Dunia 2022 di Qatar akan digelar.

Saya pribadi berharap, semoga pemerintah bisa lebih bijak dalam menerapkan ASO. Karena rakyat cukup dirugikan. Apalagi stasiun televisi besar yang sudah berinvestasi antena dan pemancar termasuk penguat sinyal. Semua malah jadi sia-sia.

Sumber ilustrasi: tangkapan layar dari siarandigital.kominfo.go.id

Sumber rujukan:

  • siarandigital.kominfo.go.id
  • bisnis.tempo.co/read/1653131/hary-tanoe-heran-kominfo-stop-tv-analog-di-jabodetabek-padahal-di-uu-berlaku-nasional
  • cnnindonesia.com/teknologi/20221105132655-185-869908/7-bantahan-mahfud-md-ke-hary-tanoe-soal-aso
  • inet.detik.com/cyberlife/d-5829533/apa-itu-dvb-t2-untuk-tangkap-siaran-tv-digital-di-indonesia

Tinggalkan komentar