Duka Harus Berakhir

Di tanggal ini, tiga tahun lalu, Ayahanda saya wafat. Kematian Beliau terasa istimewa bagi kami. Karena ALLAH SWT mewafatkan Beliau di tanggal 21 Oktober, sementara tanggal lahirnya di 22 Oktober. Jenazah almarhum tidak dimakamkan di dekat rumah tempat tinggal Beliau sehari-hari, melainkan di “makam keluarga” yang berada di kota kelahirannya. Maka, tepat di tanggal kelahiran Beliau, sehari setelah wafatnya, Ayahanda saya kembali “pulang” ke desa tempatnya lahir.

Ya, Beliau memang “wong ndeso“. Namun, visinya tidaklah “ndeso“. Demikian pula perjalanan hidupnya. Beliau memberi teladan pada banyak orang, terutama keluarga kami sendiri.

Sebagai anak satu-satunya dari Beliau, tugas sayalah hingga kini merawat istri Beliau, Ibu saya. Alhamdulillahirabbil’alamiin sejak 2017 saya telah ditemani oleh seorang wanita “pilihan Tuhan”. Sehingga, tugas merawat dan menjaga Ibu saya yang sakit sejak 2013 menjadi lebih ringan.

Saya memang berduka. Siapa pun yang hadir di pemakaman Beliau saat itu menjadi saksi betapa akhirnya saya menangis di depan semua orang saat melantunkan adzan dan iqomat di liang lahat. Dan kembali menangis tersedu-sedu usai memberikan sambutan perpisahan terakhir.

Tidak selalu saya seia sekata dengan Beliau semasa hidupnya. Banyak sekali perbedaan pendapat di antara kami. Ironisnya, perbedaan pendapat itu kini dijadikan alasan bagi beberapa orang adik-adik kandung Beliau dan pasangannya untuk menuduh, menghujat, dan memfitnah saya. Dengan begitu, mereka merasa berhak merebut hak Ibu saya dan saya. Demi ALLAH SWT, Wallahi, saya tidak akan ikhlas. Meskipun sampai mati, saya akan perjuangkan hak kami itu.

Padahal, tidak satu orang pun dari adik-adik kandung Beliau dan pasangannya yang pernah -maaf- membersihkan “taik” almarhum sewaktu hidupnya. Saya dan istri saya yang melakukannya. Apakah saya akan melakukannya bila saya seperti tuduhan mereka: “durhaka”? Dan mereka “ngilang-ngilangke” itu semua demi merebut harta peninggalan almarhum. Alangkah picik dan liciknya.

Tiga tahun sudah Beliau wafat. Tapi urusan Beliau yang saya tanggung masih banyak.

Duka memang harus berakhir. Tapi perjuangan kami mempertahankan kehormatan dan merebut kembali hak kami justru baru akan dimulai.

Insya Allah. Gusti mboten sare.

Kebenaran akan dibuktikan. Kehormatan akan dipulihkan.

Foto dari salah satu halaman buku Majmu’ Syariif yang dibuat khusus dalam rangka memperingati 40 hari wafatnya ayahanda. (Foto: Bhayu M.H.)

2 responses to “Duka Harus Berakhir

    • Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. aamiin ya Rabbal ‘alamiin.

      Terima kasih Om Jay, atas do’a, simpati dan perhatiannya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Om Jay berlipat ganda. aamiin.

Tinggalkan komentar